CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

HAI TO THE WORLD

YOU CANNOT KILL WHAT YOU DID NOT CREATE

by : SLIPKNOT

Jumat, 11 Januari 2008

Dinding Anak


Dari lima anak yang meramaikan rumah tangga kami, akhirnya mau tak mau saya harus punya anak emas. Barangkali untuk menghilangkan kesepian. Boleh jadi juga untuk mengubur sejumlah kegagalan. Dialah bibit yang telah menyisihkan Anting, yang bunting di luar nikah. Permata hati ini mewarisi apa-apa yang dimiliki ayahnya, termasuk doyannya akan sepak bola. Belum lagi mengendus taman kanak-kanak, si centil ini sudah mulai bisa menghitung, membaca, menghafal nama-nama sambil mencocokan dengan wajah-wajah para pemain bola dunia. Dari jarak umur yang begitu jauh dari kakak-kakaknya, Bibit sering menjadi buah rebutan dan tumpahan kasih saying yang terlalu berlebihan.

Malam itu para bodyguard menjabat tangan satu per satu sambil menyampaikan harapan semoga lekas dapat bekerja kembali.saya mengucapkan terima kasih dengan menanyai keadaan keluarga mereka. Benteng besi, begitu sering saya menyebut mereka, begitu kokoh, pusat keselamatan keluarga saya, dan juga Bibit. Diam-diam agaknya Bibit membaca naluri ayahnya yang menyukai para bodyguard, begitu juga si Berlian ini sangat menempel kepada orang-orang bersenjata itu. Saya lega.

Pada pesta selamatan atas kesehatan saya yang pulih-di ruang tengah dan kebun, yang dihadiri kira-kira 200 undangan-justru saya merasakan kesehatan saya memang sudah mulai merosot. Umur toh harus diperhitungkanuntuk menentukan langkah. Dan sebuah pesta saya pikir selalu menohokkan kenyataan bahwa masa berkabung sudah dekat.

Sementara saya mengangguk kesana dan kemari, masya Allah, saya lihat Bibit berayun-ayun dengan senang pada pohon yang tinggi di halaman. Saya memberi isyarat kepada salah satu bodyguard untuk mengikuti sudut mata saya.

“Astaga!” seru si bodyguard setelah menyaksikan Bibit nongkrong di ketinggian itu. Bagaimana cara Bibit bisa memanjat pohon setinggi itu di malam hari pula…. Dan kenapa hanya kami berdua yang menyaksikannya, lalu tamu-tamu sama sekali tidak…Tetapi nanti dulu…. “Lihat dengan matamu!” bentak saya, “itu bukan pohon!”

“Astaghfirullah….itu makhluk hidup, pak!” serunya.

Bibit jelas sekali mula-mula berayun-ayun di atas dahan, lalu dahan itu menggelembungkan dirinya menjadi lengan, dan pemilik lengan itu lalu mengembang, melebar, dan meninggi. Ya, ya, tiba-tiba saya mengenal siapa pemilik lengan itu, yang wajahnya tak tertembus oleh cahaya.

“Izra’il!” teriak saya.

“Apa maksud bapak?” sentak bodyguard itu sambil mencabut pistol dan menodongkan kepada batang kelam yang membopong Bibit itu. Sebaliknya Bibit tertawa-tawa, berayun-ayun, dan memanggil-manggil kami dengan suaranya yang masih cadel.

“Izra’il. Apa maksud anda bermain-main dengan anakku?” seru saya.Tubuh yang mengembang berubah apa saja itu tidak menyahut.

“Saya mohon turunkan anakku.” Makluk yang tak bertepi itu makin memalamkan diri, lembaran-lembaran bulunya dan kerudungnya berkibar diterpa angin.

“Izra’il, saya mohon. Saya mohon anakku. Saya mohon sudi memberikan anakku.” Makhluk itu melebarkan diri, rasanya kami dikepung rimbunan pohon yang pekat. Udara makin dingin. Izra’il lalu memperlihatkan keasliannya. Tubuhnya makim mengembang, mengembang, mengembang, hingga lebih luas dari langit. Barat dan timur di antara kedua tangannya, seperti hidangan di atas meja yang dengan mudahnya ia jangkau. Dan ia makan sesuka hatinya. Lalu Malaikat Maut ini memeperlihatkan bagaimana ia memutar bumi. Seperti kita memutar mata uang di telapak tangan. Kemudian ia memperlihatkan empat wajahnya. Satu di depan, satu dikepala, satu di belakang, dan satu lagi ditelapak kakinya. Namun karena berkerudung tak tertembus cahaya, wajah itu lebih mirip prahara yang menghunjam-hunjam di lembah berpagar empat gunung. Ia lalu mengepakkan sayapnya yang maha luas, sambil memperlihatkan tubuhnya yang tertutup mata yang jumlahnya tak terjangkau oleh mesin hitung. Jika satu matanya menutup,berarti satu makhluk menemui ajalnya. Mendadak sontak ia melesat ke angkasa dan duduk dan duduk pada singgasananya di langit keenam. Dan satu juta lembar kerudungnya berkibar-kibar menutupi planet-plenet.

Lalu mendadak Bibit seperti meniti sulur yang maha panjang, berayun turun dan langsung menubruk saya dengan tertawa kegirangan.

“Papa!”serunya. dengan berlelehan air mata saya peluk Bibit erat-erat. Saya ciumi dan saya bawa lari ke dalam meninggalkan tempat yang mencemaskan itu dengan bodyguard yang telah jadi patung dengan tetap pada posisinya menodong pistolnya.

Sejak kejadian itu Bibit tak mungkin lepas dari dekapan saya. Tindakan Malaikat Izra’il mendekati anak saya sudah merupakan permainan yang berbahaya. Apa maksudnya? Agaknay saya menangkap firasat. Ketika ia membatalkan niatnya mencabut nyawa saya-karena saya belum berbenah, karena kotoarn masih memenuhi semua kawasan tubuh saya-keliatan ia memahami pengetahuan semesta. Namun, sesungguhnya apa artinya tubuh yang kotor dan tubuh yang bersih bagi suatu pekerjaan yang punya batas waktu, jika memang suatu rangkaian kehidupan tak dapat ditawar harus diakhiri. Apakah kehendak-kehendak Tuhan dapat ditawar?

Waktu saya bersalat istikharah-shalat memohon petunjuk-nah, saya telah dikaruniai petunjuk itu: Malaikat Izra’il segera mencabut nyawa Bibit! Seperti disengat kumbang, saya meloncat dari sajadah, menghantam lemari kaca dan menggulingkannya, hingga isinya-porselin-porselin Cina abad ke-15-berantakan berkeping-keping. Saya sudah curiga sejak semula!
“Ini tidak adil! Ini tidak adil!” teriak saya pada jumat dini hari itu. Saya tersedu-sedu di pojok ditunggui istri yang juga berlelehan air matanya tak mengerti. Saya memukul-mukul dinding dengan terus nyerocos:

“Mengapa justru Bibit yang dipilih! Kenapa bukan saya, bangkotan-nya. Kenapa bukan kamu, ibunya. Kenapa bukan Joko, atau Jarot, atau Anting, atau Bening.” Istri serta merta memeluk saya sambil menangis sejadi-jadinya. Sesungguhnya semesta ini digelar berdasarkan perikemanusiaan atau periketuhanan?

Bibit, satu-satunya harapan saya di dunia, harus saya buang. Jika dia sudah saya buang dan tidak lagi merupakan bagian dari saya, tak ada alasan lagi Malaikat Izra’il memburunya. Saya memang curiga telah terjadi kerancuan kerja. Hanya dalam keluarga kami belum ada yang lulus untuk berangkat ke akhirat, dan kebetulan Bibitlah yang memenuhi syarat, lalu dia boleh mewakili keluarga. Ini keterlaluan. Sama sekali jauh dari sifat-sifat adil.

“Tetapi, apakah Bibit memang menjadi tumbal keluarga ataukah dia sebenarnya sudah waktunya untuk meninggalkan dunia yang fana ini, itulah yang pelik,” ujar Zaid, dokter dan guru pribadi saya, ketika seluruh keluarga kami dalam ketegangan. Terus terang saya tidak suka mendengar pendapatnya ini.

“Dokter, Anda saya rasa diam-diam telah kongkalingkong dengan Izra’il!” sergah saya sambil meninggalkannya. Lalu secepatnya saya perintahkan seluruh keluarga dalam keadaan siaga penuh.

Bibit saya buang ke Wonogiri. Entahlah, bagaimana mula saya memilih bagian yang gersang dari bumi Jawa Tengah itu jadi tempat mukimnya. Empat orang bodyguard, dua orang babysitters, seorang guru sekolah, seorang guru agama, dua orang perempuan pembantu, dan seorang penghubung yang harus melaporkan segalanya kepada saya, berangkat bersama menjaga Bibit di persembunyianya. Sebuah keluarga miskin yang kebutuhannya lalu saya cukupi, saya perintahkan untuk mengambilnya sebagai anak. Betapa lega saya. Dengan tindakan ini rasanya saya sudah mampumenyembunyikan Bibit dengan aman.kekayaan dan kekuasaan saya harus mampu menyelamatkan Bibit.

Tanpa saya duga Izra’il muncul di depan lapangan parker perusahaan saya, pada suatu hari. Ia tegak laksana brankas. Pekat mengilap. Dan brankas itu menerbitkan embun. Lalu embun itu menjelma Malaikat yang sejumlahnya tak sebuah computer pun bisa menghitung, yang kemudian malaikat-malaikat bertasbih kepada Allah. Suara puja-puji itu memenuhi sekeliling lapangan parker dengan lembut dan indah.

Saya hampiri Izra’il sambil berkata: “Anda sudah tidak mungkin lagi mengejar-ngejar Bibit. Dia sudah bukan saya anak lagi. Antara kami dan dia sudah tidak ada pertalian apa-apa.”

Seperti biasanya, Izra’il tidak menjawab. Kali ini ia tsetinggi manusia biasa dengan hiasan sayap pada punggungnya yang nampak berpendar-pendar cahayanya. Suatu sinar yang menimbulkan kesejukkan, yang membuat sejenisnya di bumi pudar.

“Biarlah Bibit saya ambil. Anda’kan tak bakal sedih karena dia sudah bukan anak anda lagi,” ujar dokter Zaid tiba-tiba, yang sejak tadi diam saja di samping saya..

“Masya Allah,” teriak kekagetan saya, “Sadarkah Dokter bahwa mulut anda sedang dipinjam oleh Izra’il!” saya pun berlari menuju mobil dan tancap gas.

Saya langsung ke bandara halim. Dengan pesawat pribadi saya terbang ke Solo. Dari Bandara Solo saya meloncat ke Wonogiri dengan helicopter.

“Cepat berbenah!” perintah saya kepada orang-orang yang menjaga Bibit, ketika saya sampai di rumah orang tua asuh anak saya itu. Mereka kalang-kabut. Bibit yang tak tahu-menahu menjadi senang atas kedatangan ayahnya. Apalagi mau diajak dengan helicopter.

Secara serampangan saya putuskan helicopter yang berjubel itu untuk terbang ke Pacitan, sebuah kota pantai selatan di kawasan Jawa Timur. Saya tidak tahu ke rumah siapa lagi Bibit saya harus titipkan. Otak saya harus terus beredar guna mencari jalan demi menghindarkan Bibit dari tekanan Malaikat Izra’il. Segala cara saya harus tempuh. Tiba-tiba secar intuitif saya menemukan akal baru.

“saya umumkan mulai hari ini nama Bibit sudah saya ganti menjadi Sruni,” kata saya dengan tegas. Orang-orang menjadi bengong. Namun, mereka tau bahwa segalanya dalam keadaan kalut, hingga tidak perlua ada pertanyaan. Saya menyuruh mereka untuk menyebut nama Bibit yang baru, dan mereka pun kompak dan akur.kami semua terasa melecut helicopter untuk mengebut, sambil mengendap-endap menghindar dari tiap sergapan Malaikat Izra’il.

“Ya, Allah, hamba mohon selamatkan Sruni. Berkahi hidupnya, canangkan masa
depannya. Dia harapan hamba, ya Allah. Selamatkan dia dari tangan Izra’il,” gumam saya yang ditelan derum mesin helicopter.

Setelah memasuki kawasan Pacitan, saya minta helikpter mendarat di suatu perkampungan sedapatnya. Kami berloncatan keluar. Sruni tidak suka pendaratan ini. Dia meronta karena lebih suka terbang. Saya cangking saja dia sambil memerintahkan para bodyguard untuk berjaga-jaga.seketika masyarakat mengerumuni helicopter kami sebagai tontonan. Dengan bergegas kami menemui sebuah keluarga, yang dengan terheran-heran mereka mau menerima Sruni dan rombongannya.

Malam hari setelah Sruni tertidur, saya tinggalkan mereka dengan pesan jangan sampai mengendorkan kewaspadaan. Saya kembali ke helicopter dengan kepenatan. Perkampungan sudah senyap, hanya erik dan kungkong yang meramaikannya.suatu perpaduan yang melahirkan musik minimal yang meresapka, jalin-menjalin begitu lembut: malam, ilalang, jangkrik dan katak, kesenyapan. Helicopter bergetar segera mengambang , saya hamper terlelap ketika lampu pesawat menerangi sebuah sosok: batang yang kelam itu lagi! Saya tersentak dan meloncat kembali ke bawah. Dengan tersaru-saruk mendekatinya sambil menyibak-nyibakkan semak, saya saksikan ia mentransformasikan dirinya menjadi bukit cahaya yang berbinar-binar, yang seketika sekelilingnya menjadi terang benderang siang hari. Tersirap darah di dada, saya berkata terbata-bata kepada Izra’il yang gilang gemilang itu:

“Bibit sudah menjadi masa silam. Yang ada hanya Sruni, gadis kecil yang sedang meniti masa depannya.” Sesaat suasana lengang. Lalu entah dari mana terdengar suatu suara:

“Dalam catatan nasib, Bibit memang haru mati pada hari ini di sebuah perkampungan di Pacitan, ketika namanya sudah diganti dengan Sruni….”

seketika saya berteriak sekeras-kerasnya, membelah angkasa, mengadukan nasib saya kepada Tuhan, sambil berlari berlelehan air mata saya mencoba menjemput Bibit kembali.

Kritik untuk cerpen ini adalah:

Cerpen ini menceritakan hal yang cukup menarik yang berkaitan dengan masalah kagamaan. Di cerpen ini kita bisa mengambil satu nilai penting untuk kita jadikan pengetahuan. Jadi cerpen ini menceritakan bahwa apabila kita sudah harus di takdirkan untuk di cabut nyawanya oleh Yang maha kuasa, kita tidak bisa menghindar walaupun kita menggunakan kekayaan dan kekuasaan yang kita miliki. Hasilnya ajal pun pasti akan datang dengan pasti.

Akan tetapi ada beberapa hal yang ingin saya kritik mencakup masalah tentang cerpen ini. Cerpen ini cukup menarik, akan tetapi dalam isi ceritanya banyak sekali kata-kata yang kurang baku. Cerpen ini juga banyak menggunakan kata yang sukar. Sukar disini maksudnya banyak menggunakan kata-kata yang tidak biasany digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi kita perlu mempersiapkan sebuah kamus untuk mengetahui arti dari kata tersebut.

Agaknya dalam cerpen ini juga terlalu berlebihan mencakup masalah Malaiat. Di cerpen ini menjelaskan bentuk dan rupa sebuah Malaikat yang harusnya sama sekali kita tidak tahu hal tersebut. Sehingga menurut saya buku ini memiliki rating yang remaja atau perlu bimbingan orang tua, karena mencakut masalah keagamaan.

Saya kira cukup kritikan saya tentang cerpen ini, akan tetapi buku ini sangat menarik untuk di baca teman-teman. Jadi saya harap teman-teman tertarik untuk membaca cerpen ini dan sapa tau teman-teman memiliki sesuatu hal yang menarik bagi diri anda dalam cerpen ini, termasuk juga kritikan anda tentang cerpen ini. Jadi selamat mencoba untuk membaca buku ini, mudah-mudahan anda bisa tertarik dengan bacaan ini dan juga mendapat pengetahuan pada cerpen ini

Sekian dari saya, apabila ada kata-kata yang salah harap maklum karena saya membuat ini hingga larut malam bahkan tidak tidur. Sekian dan terima kasih.





0 comments: