CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

HAI TO THE WORLD

YOU CANNOT KILL WHAT YOU DID NOT CREATE

by : SLIPKNOT

Jumat, 11 Januari 2008

Komisi Pemilihan Umum

Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilihan umum di Indonesia, yakni meliputi Pemilihan Umum Anggota DPR/DPD/DPRD, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sebelum Pemilu 2004, KPU dapat terdiri dari anggota-anggota yang merupakan anggota sebuah partai politik, namun setelah dikeluarkannya UU No. 4/2000 pada tahun 2000, maka diharuskan bahwa anggota KPU adalah non-partisan.
Ketua KPU periode 2007-2012 adalah Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshari A.Z, M.A.
Sejak awal 2005, KPU digoyang dengan tuduhan korupsi yang diduga melibatkan beberapa anggotanya, termasuk ketua KPU periode tersebut, Nazaruddin Sjamsuddin

Anggota
Periode 2000 - 2007

Ketua: Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, M.A.
Prof. Ramlan Surbakti, M.A, Ph.D.
Drs. Mulyana W. Kusumah
Drs. Daan Dimara, MA.
Dr. Rusadi Kantaprawira
Imam Budidarmawan Prasodjo, MA, PhD.
Drs. Anas Urbaningrum, M.A.
Chusnul.Mar'iyah, Ph.D.
Dr. F.X. Mudji Sutrisno, S.J.
Dr. Hamid Awaluddin
Dra. Valina Singka Subekti, MSi

Periode 2007 - 2012

Ketua: Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshari A.Z, M.A.
Sri Nuryanti, S.IP, M.A.
Dra Endang Sulastri, M.Si.
I Gusti Putu Artha, S.T, M.Si.
Dra Andi Nurpati, M.Pd.
H. Abdul Aziz, M.A.

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) pertama-tama dan yang terutama adalah sebuah lembaga publik yang secara penuh mengabdi untuk kepentingan publik dalam konteks pemilu. Jadi, siapa pun, dari kalangan mana pun, atas kepentingan apa pun adalah merdeka dan sah-sah saja dalam menyoroti ataupun mengomentari kinerja KPU dalam konteks penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004. KPU pada batasan tertentu memang harus terbuka untuk diakses oleh publik dengan berbagai cara dan berbagai kepentingan.

Alasannya, inilah barangkali yang tepat disebut sebagai dimensi akuntabilitas KPU terhadap hak politik masyarakat. Atau paling tidak, untuk memberikan ruang yang cukup bagi apa yang di dalam prinsip demokrasi dikenal sebagai "hak masyarakat untuk tahu". Tentu saja, tidak setiap tanggapan publik terhadap kinerja KPU mesti ditakzimi dan dianggap can do no wrong. Apalagi, tanggapan publik itu lahir dari sebuah ketidakpahaman atau kerancuan perspektif.
Sebagai contoh, bila di dalam perjalanan tugasnya, banyak praktik prosedural yang ditempuh oleh KPU yang terkesan tidak efisien. Hal ini sebenarnya harus bisa diterima oleh publik tanpa kecuali, apalagi kalau kita jeli dan tidak gegabah dalam memaknai apa yang disebut sebagai prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya tidak didesain untuk sebuah efisiensi, tapi untuk sebuah pertanggungjawaban! Lagi pula, semua tahapan prosedural itu memang rohnya ada di dalam implementasi UU, bukan melulu terjebak di dalam diskursus demokrasi prosedural atau bukan.

Harus dipahami, KPU hari ini bukanlah perpanjangan kepentingan kekuasaan seperti fungsi yang diperankan lembaga sejenis di zaman Orde Baru. Eksistensialitas KPU semata-mata tunduk pada amanat UU untuk melayani pemenuhan hak politik rakyat -- tidak kurang dan tidak lebih.
**
OLEH karena itu, untuk bisa "membaca" KPU dengan adequate dan proporsional, seyogianya publik membaca dan mencerna dulu UU RI Tahun 2003 tentang Pemilu karena di dalamnya ada jawaban tentang apa dan bagaimana pemilu, juga ada jawaban soal apa dan bagaimana KPU. Dengan kecerdasan yang minimal, seharusnya publik juga bisa menakar "watak" dan "peran" KPU yang sesungguhnya sudah digariskan jauh-jauh hari. Jadi, bisa dipastikan, menilai "watak dan peran" KPU dari perspektif konstitusi adalah sebuah tindakan arif, proporsional, dan tentu saja "membantu" tugas KPU.

Sebaliknya, tindakan "membaca" kinerja KPU bukan melalui perspektif UU Tahun 2003 tentang Pemilu adalah sebuah tindakan apriori, yang sama sekali tidak memahami tanggung jawab dan wewenang KPU. Oleh sebab itu, bisa diasumsikan sama sekali tidak membantu untuk meningkatkan kinerja KPU, apalagi untuk dianggap sebagai sebuah kontribusi intelektual untuk secara bersama-sama menyosialkan Pemilu 2004 yang pada beberapa bagian berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Justru, tanggapan yang tidak proporsional dari publik terhadap kinerja KPU akan mengakibatkan bobot kebingungan yang bertambah-tambah setiap harinya bagi para calon pemilih. Apalagi, bila komentar tersebut didasari oleh sudut pemahaman terhadap nilai-nilai demokrasi yang tragisnya justeru absurd.

Sungguh disayangkan, kehausan publik pada sosialisasi Pemilu 2004 harus "dipuaskan" oleh sebuah "analisis" soal "watak dan peran" KPU yang distorsif dan kontraproduktif terhadap visi untuk menyukseskan penyelenggaraan Pemilu 2004. Bukankah ini laiknya sebuah tragedi? Ketika persepsi terhadap pemilu makin dibangun di atas segala pemikiran sinis, pesimis, skeptis, dan tidak prospektif? Lalu, apa bedanya pandangan miring ini dengan prediksi "penggagalan pemilu" yang kontroversial itu?

Memang tidak bisa dipungkiri, bagaimanapun UU Tahun 2003 tentang Pemilu itu adalah produk politik yang dihasilkan para elite politik yang tentu saja berusaha mengartikulasikan kepentingan politiknya masing-masing ke dalam UU tersebut. Tak pelak lagi, UU Tahun 2003 tentang Pemilu memang jauh dari bentuknya yang ideal. Meski begitu, sebobrok apa pun UU yang dihasilkan, kinerja KPU tak seyogianya ikut digeneralisasi bobrok pula. KPU harus tetap menjalankan UU tersebut dengan idealismenya sendiri untuk menjamin keberhasilan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.

Sudah barang tentu, KPU tidak akan mampu memuaskan seluruh kepentingan politik yang ada. Akan tetapi, satu hal bisa dipastikan bahwa dengan idealisme, KPU akan senantiasa berjuang untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu sebagai realisasi atau lebih jauh lagi aktualisasi hak politik rakyat.

Tanpa pertimbangan idealisme, perekrutan anggota KPU sebenarnya bisa saja tanpa proses fit and proper test. Secara prosedural pun tugas KPU sebenarnya bisa saja dilakukan oleh sebuah dinas atau lembaga negara semacam itu. Namun, kenyataannya kita tidak bisa begitu karena tugas KPU kali ini adalah dalam rangka penyelenggaraan pemilu di era keterbukaan dan terutama karena bagaimanapun (sekali lagi!) pemilu adalah hak politik rakyat.
Untuk yang satu ini, perekrutan anggota KPU, tidak bisa tidak, harus disandarkan pada mekanisme yang transparan dan accountable untuk menjaring segelintir "intelektual" yang masih menyisakan sedikit idealisme dan political will untuk melayani dan mengawal kepentingan rakyat dan sekaligus menegakkan keadilan politik di dalam konteks penyelenggaraan pemilu.

Secara demikian, KPU sebenarnya tidak boleh dibayangkan menjadi tempat orang-orang yang berteori demokrasi. Akan tetapi, KPU -- pertama-tama harus dipahami -- adalah tempat orang-orang terpilih bekerja demokrasi dan mengabdikan dirinya pada nilai-nilai demokrasi. Luasnya tanggung jawab yang harus dipikul KPU, apa boleh buat, telah membuat demokrasi terkesan mahal. Untuk pemenuhan hak politik rakyat, semahal apa pun demokrasi yang ingin ditegakkan tidak boleh ditahan oleh pihak mana pun, atas dasar dalil apa pun.
**

PUBLIK memang berhak dan harus aktif berpartisipasi mengawasi kinerja KPU walaupun sebenarnya tugas untuk itu sudah diambil oleh Panwaslu dan pengawas-pengawas independen lainnya. Terdapat kemerdekaan yang luas bagi publik untuk mengawasi kinerja KPU melalui berbagai cara, termasuk dengan menggunakan media massa. Nah, pada tataran inilah kita menemukan tema "tanggung jawab pers terhadap pemilu". Adalah tugas pers untuk secara aktif menciptakan atmosfer yang kondusif bagi suksesnya penyelenggaraan pemilu. Syukur-syukur, pers mampu berkomitmen dan berkontribusi nyata untuk melakukan pembelajaran pemilu bagi para konstituen.

Alasannya, KPU tidak mungkin bekerja sendiri untuk melakukan sosialisasi pemilu, agar pemilu ini bisa diterima dan dipahami dengan lebih baik untuk menghasilkan sebuah penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan berpotensi untuk memperbaiki taraf kehidupan masyarakat. Paling tidak, pers harus aktif berpartisipasi untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu. Bukannya memberi ruang bagi aspirasi yang memperkeruh suasana hati para konstituen yang justru tengah dilanda kebingungan dan ketidakpercayaan.
Artinya, pencerahan, penyadaran, dan pemberdayaan politik rakyat itu harus dilakukan oleh semua pihak. Secara kritis dan visioner mestinya setiap elemen masyarakat, dari yang tahu, setengah tahu, tidak tahu, atau sok tahu tentang pemilu dan KPU, sepatutnya berteriak lantang tentang pentingnya sosialisasi dan pendidikan pemilih agar rakyat memiliki kesadaran ideologis dan kecakapan teknis pada saat pemilu dilangsungkan. Jangan kemudian malah diam ketika hak politik rakyat dalam memperoleh anggaran yang memadai untuk sosialisasi dikebiri!

Meski demikian, apa pun reaksi dan kritik dari anasir masyarakat terhadap kedirian KPU harus tetap dianggap sebagai energi baru bagi upaya introspeksi, retrospeksi, dan proyeksi kualitas masa depan demokrasi di persada tercinta Indonesia. Tanpa kehirauan dan kekritisan masyarakat, apa pun dan siapa pun memiliki potensi untuk menjadi tirani baru dalam jagat kepolitikan Indonesia. Jadi, terima kasih untuk semua harapan, kekecewaan, tuntutan, atau dukungan untuk KPU di dalam mengemban amanat demokrasi rakyat.***

0 comments: